“Mister, what do you want?” begitulah kira-kira seorang puying (gadis) di bawah 18 tahun dengan bahasa Inggris pas pasan menyapa dua turis asing yang melintas di depannya di satu senja. Wajahnya lugu ndeso, berpakaian rapi agak dipaksakan modern; celana jeans dan T-shirt ketat yang hampir menutup pusarnya, berdiri kira-kira dua meter dari tempat kami nongkrong.
Mengapa gadis lugu di bawah umur tersebut terlibat dalam bisnis seks? Yang pasti kata Pataya dan puying adalah dua kata yang interconnectedness dan sangat dekat hubungannya dengan kemiskinan di Thailand. Tak hanya Pattaya sebenarnya yang menjadi tempat berlangsungnya bisnis seks. Masih ada daerah Patpong yang letaknya di downtown-nya Bangkok. Patpong disebut-sebut sebagai bisnis seks dengan omzet terbesar se Asia Tenggara. Sementara Pattaya adalah daerah otonomi khusus di sebelah utara Daerah yang terletak di sebelah utara Bangkok ini konon merupakan lokalisasi tertua.
Meningkatnya migrasi perempuan ke kota, khususnya pada industri seks dapat dikaitkan dengan ekspektasi kultur dan struktur ekonomi yang berkembang di negeri gajah ini. Di kultur masyarakat Thai, nilai tertinggi menjadi perempuan terletak pada jenis pekerjaan dan seberapa besar uang yang disumbangkan untuk keluarga dan saudara-saudaranya. Banyak studi melaporkan bahwa anak perempuanlah yang nyata-nyata banyak memberikan bantuan pada orang tua mereka. Sementara anak laki-laki cukup dengan kesediaannya menjalani hidup sebagai monk (biksu) minimal satu kali dalam kehidupannya sudah bisa membanggakan orang tua.
Dalam ajaran Budha, ketika anak laki-laki mengenakan baju kuning biksu dan orang tuanya menyentuhnya, maka kelak ketika mereka meninggal maka arwahnya akan pergi ke arwana. Ow, teman perempuan Thai saya menuturkan bahwa walaupun anak laki-laki tidak bekerja, asalkan mau menjalani hidup sebagai biksu, sehari saja, sudah disanjung keluarga. Berbeda dengan anak perempuan yang berapapun kebaikan yang dibuatnya, taruhlah mengirimkan semua jerih payahnya untuk kemakmuran keluarga, tetap derajatnya tidak lebih baik dari anak laki-laki.
Nilai-nilai patriarki sangat kental mengkonstruksi makna “menjadi perempuan Thai”, dimana lingkup kehidupan mereka hanya rumah dan desanya, wajib menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, dan sesudahnya dituntut untuk monogami. Sebaliknya menjadi laki-laki di masyarakat Thai adalah anugerah. Mereka senantiasa mendapatkan kesempatan dan malah didorong untuk bersosialisasi dengan kehidupan sosial di luar keluarga dan dimaklumkan dengan permisivitas seks. Ketika kewajiban-kewajiban sebagai perempuan Thai diterjemahkan dalam bahasa praktis yaitu membantu keluarga atau mensupport pendidikan saudara-saudaranya, bersamaan itu permintaan pekerja perempuan di kota semakin meningkat, dibarengi lunturnya nilai-nilai tradisional sebagai perempuan karena ketergantungan keluarga secara materi pada anak perempuan semakin meningkat, membuat pilihan migrasi tanpa proteksi dari anggota keluarganya dan dukungan orang tua menjadi tak terelakkan. Apalagi didukung terbatasnya lapangan pekerjaan bagi perempuan di desa-desa, serta rendahnya pendidikan yang mustahil mendatangkan pendapatan tinggi. Kondisi inilah yang membuat para perempuan mempersepsikan bahwa menjadi pekerja seks adalah pilihan satu-satunya yang bisa menghasilkan big money.
Jatuhnya pilihan perempuan pada industri seks secara historis ada kaitannya dengan tradisi dan situasi ekonomi politik internasional di Thailand. Dulu pada zaman pre komunis Cina, keberadaan rumah border diterima masyarakat sebagai bagian dari kehidupan sosial. Bahkan sampai sekarang para istri lebih merelakan suaminya “jajan” di luar ketimbang mempunyai istri simpanan. Karena hubungan dengan pekerja seks ádalah murni hubungan jual beli. Berbeda dengan mempunyai istri simpanan, yang akan melibatkan emosi, cinta dan hak waris. Pada tahun 1932 sampai berakhirnya perang dunia kedua 1945, Jepang berhasil menaklukkan Cina. Selama periode itulah perempuan-perempuan dipaksa untuk melayani seks tentara Jepang dan kebanyakan comfort women didatangkan dari Asia, salah satunya Thailand. Tahun 1967, Thailand sepakat menyediakan diri sebagai R&R (Rest and Recreation) spot bagi tentara Amerika selama perang Vietnam. Pada saat itulah booming prostitusi. Sekitar 400,000 perempuan terlibat bisnis seks yang kemudian ditelantarkan setelah perang usai dan akhirnya diambil alih oleh sektor wisata.
Dari sinilah kemudian prostitusi di Thailand menjadi bisnis berskala internasional dibawah naungan sektor wisata. Bagaimana mungkin pemerintah Thai menjadikan negaranya sebagai “rumah border” bagi Amerika? Jawabnya singkat saja “tentara Amerika butuh perempuan; dan Thailand butuh dolar,” tutur salah satu pejabat pemerintahan Vietnam Selatan. Kenapa bisnis seks masih tetap jalan sampai saat ini? Jawabnya, seperti layaknya industri multinasional yang lain, lahan ini mendatangkan keuntungan yang besar dengan membayar murah tubuh perempuan desa, lugu yang hanya berbekal pengalaman dadakan dan menempatkannya sebagai pekerjaan individu yang tidak perlu jaminan keselamatan formal.
Ap/reuters